Terdapat dua teks Āṭānāṭiya yang saling berkaitan, namun memiliki perbedaan isi: yang pertama tanpa dhāraṇī, yang kedua dengan dhāraṇī. Keduanya dapat dijumpai dalam Kangyur Tibet, masing-masing dengan judul:
● lCang-lo-can gyi pho-brang gi mdo ལྕང་ལོ་ཅན་གྱི་ཕོ་བྲང་གི་མདོ (Āṭānāṭiya Sūtra), diterjemahkan oleh Ānandaśrī dan Tharpa Lotsāwa Nyima Gyaltshen.
● mDo chen-po kun-tu-rgyu-ba dang, kun-tu-rgyu-ba ma-yin-pa dang-mthun-pa’i mdo མདོ་ཆེན་པོ་ཀུན་ཏུ་རྒྱུ་བ་དང་། ཀུན་ཏུ་རྒྱུ་བ་མ་ཡིན་པ་དང་མཐུན་པའི་མདོ (Āṭānāṭīya nāma Mahāsūtra), diterjemahkan oleh Jinamitra, Prajñāvarman, dan Yeshe De.
Kanon Pāli, di dalam Dīgha Nikāya 32, memiliki padanan teks pertama yaitu Āṭānāṭiya Suttanta. Sedangkan dalam Dīrgha Āgama Tionghoa 《長阿含經》 (T. № 1), yang berasal dari mazhab Dharmaguptaka, tidak tersua judul Āṭānāṭiya atau sūtra lain yang isinya paralel. Dan, memang, di sepanjang Tripiṭaka Tionghoa hanya kita temukan padanan dari Āṭānāṭiya dengan dhāraṇī, di bawah judul Vaiśravaṇa Sūtra 《毘沙門天王經》 (T. № 1245).
Katalog K’ai-yüan shih-chiao lu 《開元釋教錄》 (T. vol. 55, № 2154 hlm. 563a) menyebutkan bahwa sebuah teks 阿吒那智經 pernah diterjemahkan pada tahun ke-3 era Lung-shuo 龍朔 (663 M) oleh Śramaṇa Nadi 沙門那提 (juga dipanggil *Puṇyotpādya 布如烏伐耶, atau dalam bahasa Cina Fu-shêng 福生 ‘melahirkan jasa’). Namun, sayangnya, terjemahan ini telah punah. Kita juga tidak tahu apakah ini merupakan terjemahan dari Āṭānāṭiya tanpa dhāraṇī atau dengan dhāraṇī.
Kanonisitas kedua Āṭānāṭiya diterima, paling tidak, oleh mazhab Sarvāstivāda. Gāthā berlindung kepada Buddha di tiga masa yang diucapkan oleh Vaiśravaṇa (hanya terdapat pada Āṭānāṭiya dengan dhāraṇī) dikutip dalam Sarvāstivāda-vinaya Vibhāṣā《薩婆多毘尼毘婆沙》 (T. vol. 23, № 1440 hlm. 505c). Āṭānāṭika juga merupakan salah satu dari 18 judul mahāsūtra yang disebutkan dalam Vinaya Piṭaka kaum Sarvāstivādin 《十誦律》 (T. vol. 23, № 1435 hlm. 174b).
Potongan manuskrip Sanskerta yang diduga sebagai sebuah versi Āṭānāṭiya ditemukan pertama kali di awal abad XX di Asia Tengah. Dugaan tersebut didasarkan pada perkataan āṭānāṭi yang terkandung di dalamnya. Transliterasinya bisa dilihat pada hlm. 24–27 Manuscript Remains of Buddhist Literature Found in Eastern Turkestan vol. 1, yang diterbitkan tahun 1916 oleh A. F. Rudolf Hoernle. Ms. Hoernle, akan tetapi, tidak memiliki kemiripan isi dengan bagian mana pun dari Āṭānāṭiya tanpa dhāraṇī atau Āṭānāṭiya dengan dhāraṇī.
Masih di Asia Tengah, pada tahun-tahun berikutnya benar-benar ditemukan ms. Āṭānāṭiya dengan dhāraṇī di bawah judulĀṭānāṭika Sūtra. Ms. Asia Tengah ini memiliki lebih banyak dhāraṇī yang disisipkan di paragraf-paragraf yang, pada terjemahan Tibet atau Tionghoa, seharusnya tidak memuatnya. Belakangan ditemukan lagi ms. Āṭānāṭīya (dengan -ṭī- panjang) Sūtra di Gilgit, dengan bahasa yang lebih mendekati Sanskerta klasik. Baik Āṭānāṭika Sūtra Asia Tengah maupun Āṭānāṭīya Sūtra Gilgit juga hanya berupa fragmen yang tidak lengkap. Perbandingan keduanya dapat dilihat pada artikel di sini.
Vaiśravaṇa Sūtra Tionghoa
Vaiśravaṇa Sūtra diterjemahkan pada tahun 990 oleh Trepiṭaka Dharmadeva (Fa-t’ien 法天) di masa Dinasti Sung Utara. Teks kita ini memuat sembilan dhāraṇī seperti Mahāsūtra Tibet, namun dalam bentuk yang lebih singkat. Juga berbeda denganMahāsūtra Tibet, di mana Buddha menceritakan kembali kepada para bhikṣu semua yang diucapkan oleh Vaiśravaṇa secara persis, pada teks kita pengulangan tersebut tidak terjadi.
Terjemahan Dharmadeva secara umum lebih ringkas, bahkan cenderung menyederhanakan, dibanding Mahāsūtra Tibet yang berusaha dengan taat menerjemahkan kata demi kata secara harfiah dari sumber aslinya. Maka dalam gāthā pergi berlindung yang diucapkan Vaiśravaṇa, teks kita kekurangan panggilan untuk Buddha cakṣuṣmān (seperti pada ms. Asia Tengah) ataubuddhimān (seperti pada ms. Gilgit; bandingkan Tib. blo-ldan བློ་ལྡན). Sebaliknya, panggilan mahāvīra diterjemahkan bebas menjadi ta wu-wei 大無畏 ‘yang teragung tanpa ketakutan’. Hilanglah seruan terkenal Namas te, puruṣājanya! Namas te, puruṣottama! pada paragraf 7–10, dan disederhanakan saja dengan 歸依、頂禮、尊重、恭敬 ‘mereka pergi berlindung, menyembah, memuliakan, dan menghormati-Nya’. Nama Gautama dihindari di akhir paragraf-paragraf tersebut; demikian pula gelar Jina.
Beberapa karakter juga kurang pada teks kita — khususnya pada transkripsi nama diri — sehingga mesti ditambahkan (dalam posting ini ditampilkan dengan warna magenta). Pada awal par. 10, misalnya, karakter 主 ‘pemimpin’ jelas diperlukan untuk mempertahankan simetri dengan par. 7–9. Kalimat-kalimat berikutnya pun mengandung istilah 藥叉主 ‘pemimpin para yakṣa’ (觀此非人而能禮敬,彼藥叉主守護北方).
Kekurangkonsistenan dapat dilihat pada terjemahan kalimat-kalimat yang seharusnya tampil simetris, contohnya: 命 menggantikan 依 pada par. 9 sehingga menjadi 歸命、頂禮、尊重、恭敬. Contoh lain pada par. 14–16 kita dapati 常來親近,侍奉衛護; tetapi, pada par. 17, 19, dan 21 常來親近,侍奉供養; sementara pada par. 20 kalimat ini hilang sama sekali. Kekurangkonsistenan disebabkan pula karena suatu kata kadangkala ditranskripsikan, kadangkala diterjemahkan. Pada akhir daftar nama di par. 14 *yāvati jagatogati ditranskripsikan dengan 野嚩帝·惹誐睹誐帝; sementara di par. 18 dan 21 klausa ini diterjemahkan sebagai 乃至世間行者 ‘hingga semua yang berkelana di dunia’. Dalam hal nama diri, Madhumada tampil dalam transkripsi 麼度麼多, sementara Puṣpamada diterjemahkan menjadi 花醉. Kombinasi transkripsi-translasi juga terjumpai, seperti: 欲麼睹 (Kāmamada), 俱枳羅成 (?Kokilasāra), 金麼拏尾 (Kanaka-mānavi).
Daftar nama makhluk-makhluk supranatural barangkali merupakan bagian paling menarik dari teks kita. Hampir seluruhnya berupa transkripsi tanpa tanda baca apa pun, kesulitan timbul untuk memenggal nama demi nama. Rekonstruksi nyaris mustahil dilakukan tanpa bantuan Mahāsūtra Tibet di mana, untungnya, nama-nama itu diterjemahkan dan dipisahkan dengandang(-ni) དང་﹙ནི﹚. Penggunaan karakter — terutama untuk sukukata terakhir — seringkali tampak tidak konsisten, misalnya aksara “la” yang seharusnya ditranskripsikan dengan 羅 diganti 路, atau 迦 untuk aksara “ka” diganti 俱. Akan tetapi, harus kita ingat bahwa pada sumber Indis aslinya semua nama tersebut akan muncul dalam bentuk nominatif. Apabila Aśoka (bentuk nominatif:Aśokaḥ) tampil sebagai 阿輸俱, maka 俱 di situ sesungguhnya merupakan transkripsi untuk akhiran -kaḥ. Hal lain yang menambah kerumitan adalah adanya sandhi serta partikel-partikel selain nama diri yang ikut ditranskripsikan. Terkena aturan sandhi, Maṇiḥ + maṇiḥ + maṇicaraḥ memang berubah menjadi Maṇirmaṇirmaṇicaraḥ; namun, bunyi -r tersebut malah ikut ditranskripsikan sehingga menjadi 摩尼里、摩尼里、摩尼左囉. Pada kasus lain, Nandyeva yang berarti ‘Nandin saja’ (Nandī + eva) ditranskripsikan 難禰嚩. Kecuali untuk penyimpangan-penyimpangan demikian, yang akan kita tampilkan miring/italik, dalam posting ini bentuk dasar dari nama diri selalu digunakan.
Dalam posting ini juga rekonstruksi dhāraṇī semata-mata bersifat tentatif. Dhāraṇī dari Mahāsūtra Tibet hanya akan dilirik sebagai contoh. Dalam Mahāsūtra terdapat variansi bacaan antara yang diucapkan Vaiśravaṇa dengan ulangannya oleh Buddha — terjadi, bahkan, dalam satu salinan teks yang sama; belum lagi varian-varian yang akan ditemukan di berbagai edisi Kangyur berbeda. Selain itu, seperti yang sudah disinggung di atas, dhāraṇī dalam Mahāsūtra lebih panjang dan memuat kata/frase yang tidak ada pada Vaiśravaṇa Sūtra. Jadi, nilai setiap karakter Tionghoa akan lebih kita pertimbangkan daripada mengikuti mentah-mentah Mahāsūtra Tibet (misalnya: otumbha otumbhe 烏凍麼烏凍彌 vs. Tib. oṃ tumbhe tumbhe ཨོཾ་ཏུམྦེ་ཏུམྦེ).
LINK: Transliterasi Mandarin dari Vaiśravaṇa Sūtra untuk keperluan pendarasan dapat diunduh di
https://sites.google.com/site/dharmasangiti/Atanatiya.pdf