Svoboda | Graniru | BBC Russia | Golosameriki | Facebook

Tautan-tautan Akses

Cek Fakta: Tak Seperti Klaim Beijing, China Pikul Tanggung Jawab sebagai Pencemar Tertinggi di Dunia


Orang-orang berjalan melalui spanduk KTT Perubahan Iklim PBB COP28, di Dubai, Uni Emirat Arab (4/12). (Foto AP/Peter Dejong)
Orang-orang berjalan melalui spanduk KTT Perubahan Iklim PBB COP28, di Dubai, Uni Emirat Arab (4/12). (Foto AP/Peter Dejong)

Victor Gao

Wakil Presiden pusat studi "China dan Globalisasi"

“Bagi negara-negara maju, secara historis, mereka telah menghasilkan lebih banyak polusi dibandingkan negara-negara berkembang, sehingga mereka harus berbuat lebih banyak untuk memitigasi dampak perubahan iklim.”

Misleading
Menyesatkan

Di tengah KTT Iklim PBB (COP28), pertemuan iklim paling penting di dunia yang diadakan di Dubai, pengamat yang terkait dengan pemerintah China mengemukakan analisis yang salah untuk meremehkan tanggung jawab ekologis Beijing.

Pertemuan terbesar para pemimpin dunia tahun ini, COP28, merupakan kesempatan untuk merevisi tujuan yang ditetapkan delapan tahun lalu pada COP21 di Paris, ketika hampir 200 negara berjanji untuk membatasi pemanasan global hingga jauh di bawah 2°C dibandingkan dengan tingkat pra-industri.

Wakil Presiden AS Kamala Harris berbicara pada KTT Iklim PBB COP28, Sabtu 2 Desember 2023, di Dubai, Uni Emirat Arab. (Foto AP/Kamran Jebreili)
Wakil Presiden AS Kamala Harris berbicara pada KTT Iklim PBB COP28, Sabtu 2 Desember 2023, di Dubai, Uni Emirat Arab. (Foto AP/Kamran Jebreili)

Di China, Victor Gao, wakil presiden pusat studi China dan Globalisasi ('Center for China and Globalization'), sebuah wadah pemikir yang berbasis di Beijing, berpendapat bahwa negara-negara maju secara historis lebih banyak melakukan polusi sehingga memikul tanggung jawab lebih besar terhadap pemanasan global.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tanggal 30 November di surat kabar Global Times milik pemerintah China, Gao menyatakan:

“Bagi negara-negara maju, secara historis, mereka telah menghasilkan lebih banyak polusi dibandingkan negara-negara berkembang, sehingga mereka harus berbuat lebih banyak untuk memitigasi dampak perubahan iklim.”

Meski ada benarnya, pernyataan itu menyesatkan.

Pernyataan ini ada benarnya, karena emisi yang dihasilkan (sektor industri negara-negara maju) ratusan tahun yang lalu telah berkontribusi terhadap pemanasan global saat ini.

Namun, narasi tersebut mencerminkan posisi resmi pemerintah China yang menyatakan bahwa negara-negara industri maju harus memikul tanggung jawab mitigasi lingkungan terbesar dengan mengabaikan fakta, bahwa bahkan dalam sejarahnya, China bukanlah negara yang ramah iklim.

Antara tahun 1850 dan 2021 China menghasilkan emisi 284 miliar ton CO2, menurut Carbon Brief, situs web berbasis di Inggris yang mengkhususkan diri pada kebijakan perubahan iklim. Jumlah emisi CO2 China tersebut berada di peringkat kedua setelah AS yang mencapai 509 miliar ton pada periode yang sama.

Analisis tersebut mencatat bahwa ledakan ekonomi China yang mengandalkan bahan bakar batu bara sejak tahun 2000 adalah penyebab utama posisi China saat ini.

Selain itu, sejak tahun 2019, China telah mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca setiap tahunnya dibandingkan seluruh negara maju, sehingga menjadi pencemar terbesar di dunia, demikian yang dilaporkan oleh Rhodium Group, sebuah lembaga kajian kebijakan ekonomi yang berbasis di Washington, DC pada tahun 2021.

Perkiraan baru lembaga think tank tersebut menunjukkan bahwa tujuh negara bertanggung jawab atas hampir dua pertiga emisi global pada tahun 2022. China berada di peringkat pertama, mengeluarkan 26% emisi global, diikuti oleh Amerika Serikat sebesar 12% dan India sebesar 7%. Negara-negara Uni Eropa secara kolektif juga telah mengeluarkan emisi sebesar 7% pada tahun 2022.

Estimasi lembaga 'Rhodium Group' mengenai emisi global menurut negara pada tahun 2022.
Estimasi lembaga 'Rhodium Group' mengenai emisi global menurut negara pada tahun 2022.

Selain itu, asumsi bahwa China mempunyai tanggung jawab ekologis yang lebih kecil karena mereka bukan negara “maju” tidaklah sepenuhnya akurat. Kekuatan ekonomi China telah meledak dalam 40 tahun terakhir, menjadikannya negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi peringkat pada negara-negara berdasarkan kompilasi kriteria yang disebut HDI atau Indeks Pembangunan Manusia.

Dalam penilaian terbarunya, PBB menempatkan peringkat HDI China sebagai “tinggi” dan menempatkan China pada peringkat ke-79 di antara 190 negara di dunia.

Dua negara penghasil polusi terbesar lainnya, Amerika Serikat dan India, masing-masing berada di peringkat ke-21 dan ke-132.

Mari kita lihat apa yang dilakukan ketiga negara ini untuk mencapai target emisi mereka.

China

Dengan investasi besar-besaran pada energi terbarukan, China telah berjanji untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Netralitas karbon, atau net zero, berarti tidak menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer.

Namun tujuan tersebut kini terkendala oleh suhu ekstrem, kekeringan terburuk dalam beberapa tahun terakhir, dan banjir besar yang disebabkan oleh perubahan iklim global.

Pada tahun 2022, Beijing gagal mempertahankan pasokan listrik yang stabil selama hari-hari terpanas, dan, untuk mengatasi pemadaman listrik, Beijing kembali menggunakan batu bara untuk menjamin keamanan energi negara tersebut.

Greenpeace mengatakan pada bulan Agustus bahwa setidaknya 50,4 gigawatt pembangkit listrik tenaga batubara baru telah disetujui di seluruh China pada paruh pertama tahun 2023, setara dengan izin dua pembangkit listrik tenaga batubara per minggu.

Seorang pria berjalan melewati pembangkit listrik tenaga batu bara di kota Shanghai, China (foto: dok).
Seorang pria berjalan melewati pembangkit listrik tenaga batu bara di kota Shanghai, China (foto: dok).

Satu gigawatt setara dengan satu pembangkit listrik tenaga batu bara yang besar, menurut Global Energy Monitor (GEM), sebuah LSM lingkungan AS yang berbasis di San Francisco.

GEM mengatakan bahwa China saat ini memiliki 306 pembangkit listrik tenaga batubara baik yang diizinkan maupun sedang dibangun.

“Terus mengizinkan lebih banyak kapasitas batubara akan mengakibatkan peningkatan emisi secara besar-besaran, atau pembangkit listrik tidak beroperasi, menimbulkan kerugian, dan melanggengkan ketergantungan sistem tenaga listrik pada batubara,” kata Flora Champenois, analis riset di Global Energy Monitor.

Climate Action Tracker atau CAT, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya China dalam mengatasi perubahan iklim secara keseluruhan sangat tidak memadai, karena “pemerintah terus memperjuangkan peran bahan bakar fosil dalam transisi sektor energinya, dengan peningkatan produksi bahan bakar fosil yang terus berlanjut. sebagai kunci untuk memberikan stabilitas dan keamanan.”

Climate Action Tracker, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya iklim China secara keseluruhan sangat tidak memadai.
Climate Action Tracker, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya iklim China secara keseluruhan sangat tidak memadai.

Pembangkit listrik baru berbasis batu bara dan pabrik baja terintegrasi umumnya memiliki umur 20-40 tahun dan akan menjadikan sektor-sektor tersebut semakin bergantung pada batu bara.

Amerika Serikat

AS, yang secara historis merupakan pencemar terbesar, kini menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, dengan mengeluarkan sekitar 5,9 miliar metrik ton gas hijau setiap tahunnya.

Pada tahun 2021, Presiden Joe Biden berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca AS sebesar 50% hingga 52% pada tahun 2030, lebih dari dua kali lipat komitmen negara tersebut sebelumnya berdasarkan perjanjian iklim Paris. AS bertujuan untuk mencapai net zero pada tahun 2050.

CAT menilai upaya AS tidak cukup. Dikatakan bahwa pada tahun 2022, AS telah mencapai sekitar sepertiga dari tujuan tersebut. Laporan ini mencatat bahwa Undang-Undang Pengurangan Inflasi telah memobilisasi investasi ke sektor energi ramah lingkungan. Hal ini telah menghasilkan “pengurangan emisi yang lebih besar hingga tahun 2030…namun belum cukup untuk memenuhi target pengurangan emisi sebesar 50% hingga 52% di bawah tahun 2005 pada tahun 2030.”

Climate Action Tracker, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya iklim AS secara keseluruhan tidak cukup.
Climate Action Tracker, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya iklim AS secara keseluruhan tidak cukup.

Berdasarkan Undang-Undang Pengurangan Inflasi, Amerika Serikat siap untuk menginvestasikan $370 miliar selama 10 tahun pada pembangkit listrik tenaga angin, tenaga surya, hidrogen hijau, energi nuklir, dan tenaga bahan bakar non-fosil lainnya.

Washington belum membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru, harian The New York Times melaporkan. Pemerintah telah mengurangi separuh penggunaan batu bara dan malah meningkatkan penggunaan gas alam.

India

Pada tahun 2021, New Delhi berjanji untuk memenuhi setengah dari kebutuhan energinya melalui sumber terbarukan pada tahun 2030 dan mengurangi emisinya hingga nol pada tahun 2070.

Dalam pertemuannya dengan Biden pada bulan Juni, Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan India adalah satu-satunya negara G20 yang telah memenuhi semua janji yang dibuat dalam perjanjian Paris.

Hal ini sebagian benar. Menurut laporan Climate Policy Initiative pada tahun 2022, terdapat peningkatan aliran pendanaan ramah lingkungan sebesar 150% sejak janji tahun 2021, yang menunjukkan “peran positif dukungan kebijakan dalam memobilisasi investasi.”

CAT juga memuji kemajuan signifikan India dalam kapasitas energi terbarukan, termasuk insentif kebijakan untuk mengembangkan tenaga surya dan hidrogen hijau. Namun laporan ini menunjukkan bahwa, seperti halnya China, ketergantungan India pada pembangkit listrik tenaga batu bara masih menjadi hambatan bagi ambisi lingkungan hidup mereka.

Neshwin Rodrigues, analis kebijakan kelistrikan di lembaga pemikir energi global Ember, mengatakan kepada CNBC bahwa bahan bakar fosil terus memenuhi 75% pasokan listrik India, menjadikannya “satu-satunya bahan bakar yang relatif berlimpah di India.”

Menurut data Kementerian Batubara India, produksi batu bara negara tersebut meningkat lebih dari 14% pada tahun 2023.

Berdasarkan pembaruan terakhirnya pada bulan Juli 2023, CAT memberikan peringkat keseluruhan “sangat tidak memadai” untuk tindakan iklim India. Selain ketergantungannya pada batu bara, CAT berpendapat bahwa rencana pemerintah India saat ini tidak memberikan jalur emisi yang jelas.

Climate Action Tracker, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya iklim India secara keseluruhan sangat tidak memadai.
Climate Action Tracker, sebuah kelompok penelitian yang melacak emisi global di 40 negara, menilai upaya iklim India secara keseluruhan sangat tidak memadai.

XS
SM
MD
LG